Senin, 18 Januari 2016
Sabtu, 31 Oktober 2015
Batik Pekalongan
Sejarah Batik Pekalongan
Meskipun tidak ada catatan resmi kapan batik mulai dikenal di
Pekalongan, namun menurut perkiraan batik sudah ada di Pekalongan
sekitar tahun 1800. Bahkan menurut data yang tercatat di Deperindag,
motif batik itu ada yang dibuat 1802, seperti motif pohon kecil berupa
bahan baju.
Namun perkembangan yang signifikan diperkirakan terjadi setelah
perang besar pada tahun 1825-1830 di kerajaan Mataram yang sering
disebut dengan perang Diponegoro atau perang Jawa. Dengan terjadinya
peperangan ini mendesak keluarga kraton serta para pengikutnya banyak
yang meninggalkan daerah kerajaan. Mereka kemudian tersebar ke arah
Timur dan Barat. Kemudian di daerah – daerah baru itu para keluarga dan
pengikutnya mengembangkan batik.
Ke timur batik Solo dan Yogyakarta menyempurnakan corak batik yang
telah ada di Mojokerto serta Tulungagung hingga menyebar ke Gresik,
Surabaya dan Madura. Sedang ke arah Barat batik berkembang di Banyumas,
Kebumen, Tegal, Cirebon dan Pekalongan. Dengan adanya migrasi ini, maka
batik Pekalongan yang telah ada sebelumnya semakin berkembang.
Seiring berjalannya waktu, Batik Pekalongan mengalami perkembangan
pesat dibandingkan dengan daerah lain. Di daerah ini batik berkembang di
sekitar daerah pantai, yaitu di daerah Pekalongan kota dan daerah
Buaran, Pekajangan serta Wonopringgo.
- Batik Pekalongan, antara Masa Lampau dan Kini
BATIK pekalongan menjadi sangat khas karena bertopang sepenuhnya pada
ratusan pengusaha kecil, bukan pada segelintir pengusaha bermodal
besar. Sejak berpuluh tahun lampau hingga sekarang, sebagian besar
proses produksi batik pekalongan dikerjakan di rumah-rumah.
Akibatnya, batik pekalongan menyatu erat dengan kehidupan masyarakat
Pekalongan yang kini terbagi dalam dua wilayah administratif, yakni Kota
Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Batik pekalongan
adalah napas kehidupan sehari-sehari warga Pekalongan. Ia menghidupi dan
dihidupi warga Pekalongan.
Meskipun demikian, sama dengan usaha kecil dan menengah lainnya di
Indonesia, usaha batik pekalongan kini tengah menghadapi masa transisi.
Perkembangan dunia yang semakin kompleks dan munculnya negara pesaing
baru, seperti Vietnam, menantang industri batik pekalongan untuk segera
mentransformasikan dirinya ke arah yang lebih modern.
Gagal melewati masa transisi ini, batik pekalongan mungkin hanya akan dikenang generasi mendatang lewat buku sejarah.
Ketika itu, pola kerja tukang batik masih sangat dipengaruhi siklus
pertanian. Saat berlangsung masa tanam atau masa panen padi, mereka
sepenuhnya bekerja di sawah. Namun, di antara masa tanam dan masa panen,
mereka bekerja sepenuhnya sebagai tukang batik.
ZAMAN telah berubah. Pekerja batik di Pekalongan kini tidak lagi
didominasi petani. Mereka kebanyakan berasal dari kalangan muda setempat
yang ingin mencari nafkah. Hidup mereka mungkin sepenuhnya bergantung
pada pekerjaan membatik.
Apa yang dihadapi industri batik pekalongan saat ini mungkin adalah
sama dengan persoalan yang dihadapi industri lainnya di Indonesia,
terutama yang berbasis pada pengusaha kecil dan menengah.
Persoalan itu, antara lain, berupa menurunnya daya saing yang
ditunjukkan dengan harga jual produk yang lebih tinggi dibanding harga
jual produk sejenis yang dihasilkan negara lain. Padahal, kualitas
produk yang dihasikan negara pesaing lebih baik dibanding produk
pengusaha Indonesia.
Penyebab persoalan ini bermacam-macam, mulai dari rendahnya
produktivitas dan keterampilan pekerja, kurangnya inisiatif pengusaha
untuk melakukan inovasi produk, hingga usangnya peralatan mesin
pendukung proses produksi.
Meskipun tidak ada catatan resmi kapan batik mulai dikenal di
Pekalongan, namun menurut perkiraan batik sudah ada di Pekalongan
sekitar tahun 1800. Bahkan menurut data yang tercatat di Deperindag,
motif batik itu ada yang dibuat 1802, seperti motif pohon kecil berupa
bahan baju.
Namun perkembangan yang signifikan diperkirakan terjadi setelah
perang besar pada tahun 1825-1830 di kerajaan Mataram yang sering
disebut dengan perang Diponegoro atau perang Jawa. Dengan terjadinya
peperangan ini mendesak keluarga kraton serta para pengikutnya banyak
yang meninggalkan daerah kerajaan. Mereka kemudian tersebar ke arah
Timur dan Barat. Kemudian di daerah – daerah baru itu para keluarga dan
pengikutnya mengembangkan batik.
Ke timur batik Solo dan Yogyakarta menyempurnakan corak batik yang
telah ada di Mojokerto serta Tulungagung hingga menyebar ke Gresik,
Surabaya dan Madura. Sedang ke arah Barat batik berkembang di Banyumas,
Kebumen, Tegal, Cirebon dan Pekalongan. Dengan adanya migrasi ini, maka
batik Pekalongan yang telah ada sebelumnya semakin berkembang.
Seiring berjalannya waktu, Batik Pekalongan mengalami perkembangan
pesat dibandingkan dengan daerah lain. Di daerah ini batik berkembang di
sekitar daerah pantai, yaitu di daerah Pekalongan kota dan daerah
Buaran, Pekajangan serta Wonopringgo.
Batik Pekalongan, antara Masa Lampau dan Kini
BATIK pekalongan menjadi sangat khas karena bertopang sepenuhnya pada
ratusan pengusaha kecil, bukan pada segelintir pengusaha bermodal
besar. Sejak berpuluh tahun lampau hingga sekarang, sebagian besar
proses produksi batik pekalongan dikerjakan di rumah-rumah.
Akibatnya, batik pekalongan menyatu erat dengan kehidupan masyarakat
Pekalongan yang kini terbagi dalam dua wilayah administratif, yakni Kota
Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Batik pekalongan
adalah napas kehidupan sehari-sehari warga Pekalongan. Ia menghidupi dan
dihidupi warga Pekalongan.
Meskipun demikian, sama dengan usaha kecil dan menengah lainnya di
Indonesia, usaha batik pekalongan kini tengah menghadapi masa transisi.
Perkembangan dunia yang semakin kompleks dan munculnya negara pesaing
baru, seperti Vietnam, menantang industri batik pekalongan untuk segera
mentransformasikan dirinya ke arah yang lebih modern.
Gagal melewati masa transisi ini, batik pekalongan mungkin hanya akan dikenang generasi mendatang lewat buku sejarah.
Ketika itu, pola kerja tukang batik masih sangat dipengaruhi siklus
pertanian. Saat berlangsung masa tanam atau masa panen padi, mereka
sepenuhnya bekerja di sawah. Namun, di antara masa tanam dan masa panen,
mereka bekerja sepenuhnya sebagai tukang batik.
ZAMAN telah berubah. Pekerja batik di Pekalongan kini tidak lagi
didominasi petani. Mereka kebanyakan berasal dari kalangan muda setempat
yang ingin mencari nafkah. Hidup mereka mungkin sepenuhnya bergantung
pada pekerjaan membatik.
Apa yang dihadapi industri batik pekalongan saat ini mungkin adalah
sama dengan persoalan yang dihadapi industri lainnya di Indonesia,
terutama yang berbasis pada pengusaha kecil dan menengah.
Persoalan itu, antara lain, berupa menurunnya daya saing yang
ditunjukkan dengan harga jual produk yang lebih tinggi dibanding harga
jual produk sejenis yang dihasilkan negara lain. Padahal, kualitas
produk yang dihasikan negara pesaing lebih baik dibanding produk
pengusaha Indonesia.
Penyebab persoalan ini bermacam-macam, mulai dari rendahnya
produktivitas dan keterampilan pekerja, kurangnya inisiatif pengusaha
untuk melakukan inovasi produk, hingga usangnya peralatan mesin
pendukung proses produksi.
Langganan:
Postingan (Atom)